September 2006....
Yang aku ingat waktu itu aku terbaring lemah tak berdaya. Tepat beberapa bulan aku telah mengenakan hijab. Sebelumnya aku sempat sholat taubat dan merenungi kehidupan masa silamku yang penuh dengan kebahagiaan bersama teman-teman sekolah, segudang prestasi... Rasa syukurku terus bertambah dan hal inilah yang memutuskan diriku untuk berjilbab. Meskipun aku di rumah kurang bahagia............
Tidak seperti teman-teman yang penuh cinta kasih orang tua yang sangat memperhatikan mereka. Dari bekal makan, botol minum, seragam yang belum dicuci, atau hal sederhana sekalipun seperti setelan kaus kaki yang hilang sebelah. Sementara aku terbiasa melakukannya sendiri dari kecil atas segala kebutuhanku sampai-sampai pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh ibu untuk memperhatikanku semuanya aku kerjakan sendiri. Atau sekedar memasak makan siang untuk diriku sendiri ketika pulang sekolah, karena di tudung tidak tersedia apa-apa....
Orangtua yang kurang perhatian sangat membuat aku sedih. Segala kegiatanku pun mungkin ibuku tidak tahu apa yang dilakukanku di sekolah. Mungkin kalau aku menyelewengkan uang SPP ibuku juga tidak akan pernah tahu, aku sempat berpikir demikian, tapi akal sehatku berkata untuk tidak melakukan hal itu walau hanya untuk mencuri perhatian darinya.
September 2006....
Aku ingat kala itu bibirku telah memutih, rambut yang rontok, dan makanan enak sekalipun tak bisa aku rasakan di lidahku. Semua terasa hambar lebih-lebih aku hanya boleh makan bubur nasi setiap hari walau setelah itu muntah berkali-kali. Badanku lemas rasanya. Hampir sebulan aku seperti ini. Bangkit dari tidur pun aku tak mampu. Aku kritis. Dokter tak mampu. Hingga sesuatu yang di luar akal manusia pun dilakukan, memanggil orang pintar, meminum jejampian dari nenek sebelah....
Aku sudah pasrah... Pasrahkan saja...
Oh..., perempuan ini akhirnya selama bertahun-tahun dingin padaku, dia menangis untukku hari itu dengan suara yang tak biasanya. Parau-parau itu, dan jeritan itu... Tuhan,, andai dia tahu aku pun sangat sedih tidak bisa akrab dengannya seperti teman-temanku yang sangat mendewakan ibunya di atas segalanya. Aku harus bertahan... karena aku ingin berumur panjang. Aku pun ingin menjadi seperti dia, yang melahirkan anak-anak seperti kami....
Aku sembuh. Sekarang sudah 5 semester aku lalui dengan hidup di kamar kosan sendiri ini. Tentunya dia semakin mencintaiku, karena prestasi-prestasi yang kutunjukkan sewaktu di sekolah. Dan posisi ku yang berjauhan dengannya, membuat dia rindu. Bahkan mencium mukaku dengan mengendus-endus dan memeluk tubuhku kencang sekali saat aku akan kembali ke kosan. Dia juga membuatkanku bekal untuk di jalan. Membuat beberapa kotak Brownies untuk dibagikan kepada teman-teman kosanku atau cake setiap aku akan kembali ke kosan.
Sekarang di matanya, aku adalah sesosok dewasa yang ngangenin. Karena aku juga berbeda.... Aku yang tidak mengeluh berteriak saat sakit, aku yang tak membalas ucapannya yang mengomeliku...
Aku sadar dan aku sadar... Aku sangat sedih. Hhhmmm... dia yang tidak pernah menanyakan sesosok yang mengajakiku kencan.. atau mendorong sesuatu itu agar aku seperti wanita yang lain. Entahlah, dia sangat percaya padaku bahwa itu bukanlah tujuan hidup utamaku. Dia sangat percaya, Ya Allah....
Aku akan terus belajar di sini Bunda.... Walau aku masih sering dikuasai egoku untuk membenci semua takdir ini, mengapa aku di sini dengan segala sesuatu yang tidak aku sukai. Sekolah dan terus sekolah... Melanjutkan master seperti yang kau inginkan. "Kalau di Indonesia, Ibu masih sanggup untuk membiayai... Tapi tidak di luar. Kalau mau di luar, cari beasiswa saja di internet."
Aku di sini terus belajar... Aku pun ingin mengecap dunia luar... dan membawamu ke sana... :')
No comments:
Post a Comment