Pages

Dynamic Blinkie Text Generator at TextSpace.net


Tuesday, May 10, 2011

Etika sosial perusahaan tentang kesejahteraan buruh

Kami yang merangkak dengan peluh

mengintip surya yang masih terlelap

oleh peluk erat kapas-kapas malam.

Kami yang menghabiskan separuh hidup kami

dengan penuh harapan.

Kami yang penuh dengan bulir lelah

khayal-khayal yang merajai kami.

Dan kami yang pulang dengan kelam

menyerahkan jiwa kami.



Kini.........

Kami yang dengan racun muka dan lidah

yang mengerut, kisut.

Kami yang teriak dengan penuh sesal.



Ampun......

Bayar peluh kami

Ganti separuh nyawa kami, darah kami

yang kucur mengucur

demi mengisi mimpi yang kosong keroncong.

Meski tungkak-tungkakmu mengendus-endus

dengan gagahnya di hadapan kami.

Meski kau telah foya huru-hara atas kami.

Menghujam......

Tertampik-tampik kami.



Ampun......

Kini kami hanya bisa teriak,

Hidup atau mati!

(by: Sang Pencinta)



Memang tidak ada satu pun di dunia ini yang bercita-cita menjadi seorang buruh. Saya yakin itu! Dengan seharian penuh bekerja dengan seragam alakadarnya menguras tenaga, mambanting tulang, memeras keringat, dengan upah yang sangat sedikit, bahkan sampai lupa makan, rumah, jalan-jalan, cita-cita yang lain. Memang sungguh ironis seperti itu. Mereka pergi pagi, sangat pagi, bahkan hari masih gelap. Bekerja seharian penuh non stop, pulang malam. Bagi mereka, rumah hanyalah untuk numpang tidur. Setiap hari seperti itulah yang mereka lakukan demi sesuap nasi. Makan apa adanya, yang penting bisa makan, bisa bayar listrik, bayar kontrakan, ya.............. lebih tepatnya bisa bertahan hidup.

Lalu, bagaimana kalau mereka sakit? Mereka tidak punya askes seperti PNS. Kalau ke praktik dokter, uang cuma cukup buat makan. Jalan satu-satunya ya...... obat warung yang dijual bebas di pasaran. Tapi, kalau opname ke rumah sakit? Kan mahal untuk beberapa hari, lalu obat-obat rumah sakitnya bagaimana? Bayarnya pakai apa? Oh iya, kan ada Kartu Miskn. Tapi..............., ngurus kartu miskin itu susah, ribet! Kalaupun punya, memangnya ada jaminan Rumah Sakit memfasilitasi sebaik mungkin, memberikan pelayanan sebagaimana mestinya? Coba lihat! Masih banyak kita lihat di berita televisi tentang masyarakat miskin yang enggan berobat ke Rumah Sakit karena khawatir tidak akan dilayani, sampai-sampai ada yang opname di teras. Sungguh ironis memang!

Ternyata memang tidak enak ya jadi orang miskin. Apapun jadi susah. Mau makan susah, sakit aja bisa jadi susah, kalau telat bayar kontrakan nanti diusir.

Nah, teman-teman sekalian! Para buruh juga tidak mau hidupnya seperti itu. Meskipun hidup dengan sangat berkecukupan, tentunya mereka juga punya cita-cita. Meskipun mereka seorang buruh, paling tidak mereka ingin anak-anak mereka jadi lebih baik ketimbang mereka. Mereka juga ingin anak-anak mereka sekolah setinggi-tingginya biar nggak jadi orang susah, biar tidak seperti mereka. Mereka juga ingin anak-anak mereka nantinya bisa jadi guru, insinyur, pengusaha, atau yang lainnya. Setiap manusia itu pasti punya cita-cita yang bagus. Pasti kita menginginkan yang terbaik.

Lalu, bagaimana dengan pelayangan Surat PHK buruh yang terjadi dewasa ini? Rasanya bukan saat ini saja terjadi pemberhentian kerja pada buruh. Dari dulu pun kita sering mendengar banyak buruh yang di-PHK. Di salah satu berita televisi saya pernah melihat seorang buruh, Nani (nama samaran) yang sudah tiga bulan hidup menumpang di rumah adiknya. Nani bersama tiga orang anaknya dan suaminya sudah tidak tahu lagi tinggal di mana setelah pelayangan surat PHK itu. Sebelumnya, gajinya tidak dibayar selama 5 bulan. Dengan derai air mata Nani mengungkapkan rasa kecewanya di depan kamera. Dia sudah kebingungan. Makan saja susah. Sampai-sampai suaminya yang juga seorang buruh harus beralih profesi menjadi penjual keripik singkong di jalanan demi sesuap nasi. Sungguh ironis memang!

Sebaiknya bagaimana? Jasa buruh memang harus dihargai. Tanpa mereka tentunya pabrik-pabrik ataupun industri lainnya tidak akan dapat berjalan. Mereka juga punya hak untuk dilindungi dan mendapat penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hendaknya pemerintah lebih memperhatikan dan lebih melindungi hak mereka agar dapat mengangkat derajat hidup mereka.

Perusahaan seharusnya memberikan jaminan upah kepada mereka per bulannya bagaimanapun caranya, entah itu lewat jaminan kepada lembaga lain, atau pemberian hak istimewa kepada buruh-buruh senior. (saya masih terlalu awam soal ekonomi). Saya hanya berpikir ini mengenai etika social yang harus diperhatikan oleh perusahaan.

Selebihnya, marilah kita bersama-sama tolong-menolong kepada sesama. Jangan sampai kita melihat saudara kita kesusahan. Mungkin sebagai masyarakat biasa, kita harus menghargai mereka dengan cara bertenggang rasa dan menjaga silaturahmi yang baik. Karena kita semua adalah saudara.

Percikan! (Keadaan yang berpihak)

Dear Chuck,

Aku banyak mengalami kejadian-kejadian yang membingungkan dan seolah aku lah aktor utama dari ini semua, beberapa hari terakhir ini. Aku juga banyak mengalami keadaan yang berpihak. Kau tahu? Aku dianggap seorang kriminil gara-gara kau. Aku dikira telah mencuri buku yang kau tulis ini. Aku keluar pintu perpustakaan kampusku dengan sisa-sisa tenagaku. Aku dikagetkan dengan alarm pintu kampus yang aku abaikan (karena aku tidak merasa bersalah). Aku terus saja berjalan enteng, sampai aku berhenti ketika seorang laki-laki paruh baya mencegatku, dan menginterogasiku, “apa yang kau bawa di tasmu dari dalam?”. Ya, ranselku memang kelihatan berat dan aku juga terlihat sangat lelah. Aku tidak mengerti pertanyaan laki-laki ini. Aku diajak masuk ke dalam, ke depan meja penjaga. Orang-orang melihatku. Alarm terus saja berbunyi. Aku belum mengerti ini semua (karena fikiranku betul-betul kosong dan aku sangat lelah). Aku hanya tersenyum menggeleng sambil menumpahkan kedua belah tangan di wajahku beralaskan tissue untuk menyapu keringatku. Aku masih belum mengerti.

Ooowww..., aku dikira mencuri buku dari dalam. Mahasiswa yang di atas balkon, di foto copy, di balik kaca, semua menuju pandangan ke arahku. Aku merasa seperti anak kecil yang ketahuan mengutil coklat di supermarket. Aku membuka tasku dan mengeluarkan bukumu. Sampul merah penuh mawar merah ku perlihatkan pada mereka. Aku bilang aku meminjamnya. Mereka tidak percaya. Lebih tepatnya aku memperpanjang waktu peminjaman, ujarku. Mereka memeriksa........, dan aku benar!

Di sini aku tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Maaf, Pak, saya bukan pencuri. Saya gak nyuri, Pak! Terbukti, kan.” Bapak penjaga di sana mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum, iya! Dan ia meminta maaf dan berkata bahwa bukumu belum dinetralkan kodenya lewat alarm pintu ini.

Aku tidak habis pikir bisa-bisanya bukumu belum dinetralkan lewat alarm ini, Chuck.

Aku lelah, aku sangat lelah, Chuck! Aku belum selesai membaca bukumu. Karenanya aku kurang mengerti bahasamu yang begitu abstrak. Aku masih 19 tahun. Aku hanya kaget ketika di Bab I ada sepucuk surat cinta dari seorang pria yang terluka. Aku membacanya berulang-ulang. Aku merasa sedih, kadang juga aku merasa lucu. Sungguh untuk mengkihlaskan sesuatu dan mempunyai ketulusan hati itu sangat indah, biar bagaimanapun kejadian yang menimpa kita.



Isinya:

Aku telah mencari selama hidupku untuk menemukanmu.

Engkau telah membuatku tersadar.

Sebelum ada kamu, Aku hanyalah seorang pria yang bodoh, seorang pria yang liar, seorang pria yang terluka.

Aku belum dijinakkan, tak mempercayai siapa pun dengan hati yang lari ini.

.......................................................................

Engkau mengajarkan kepadaku hadiah-hadiah yang manis dari keberanian untuk mencintai.

Denganmu aku berjalan keluar dari neraka-neraka yang telah kuciptakan sendiri.

..................................................................

Itulah penggalannya.

Buku ini lebih cocok untuk paman saya....!

Tapi yang paling aku suka adalah ketika kau menganjurkan untuk “MENIKMATI EMOSI”. Chuck, hanya kau lah satu-satunya yang pernah ku dengar bahwa tidak ada salahnya kita punya emosi. Kita manusia! Dan emosi itu manusiawi!

Chuck, aku bisa merasakan emosi ketika bermain musik. Tanpa emosi tentu lagu-lagu yang kumainkan tidak punya nyawa, atau lirik-lirik dari lagu yang pernah kuciptakan tidak akan dalam artinya, atau mungkin tulisan ini sendiri tidak akan hidup dan orang tidak akan tertarik untuk membacanya, berhenti begitu saja ketika di paragraf pertama.

Chuck, aku ingin terus menikmati emosiku. Aku ingin menggunakan emosiku dengan tepat. Akhir-akhir ini aku telah menggunakan emosi dengan cara yang salah. Bahkan aku telah melakukan suatu kebohongan besar karena emosi ini. Maafkan aku.... Chuck, aku sangat menyayangi teman-temanku..

Chuck, aku sangat lelah. Aku perlu istirahat. Aku butuh liburan. Aku ingin melupakan semuanya sejenak saja, Chuck.

Aku benar-benar sangat lelah. Tugas-tugas duduk manis di bahuku. Aku melangkah menunduk ke bawah. Aku tidak hiraukan debu yang ada di sepatuku.

Aku sangat lelah. Tenggorokanku sangat sakit, tepatnya tulang leherku bagian depan. Suaraku agak jernih, hanya saja tulangnya sepertinya terganggu. Mungkin karena aku terlalu banyak terisak waktu itu sampai aku lelah dan tertidur. Aku menghabiskan waktu berlama-lama di kamar mandi untuk mendinginkan kepalaku, sampai aku benar-benar dingin. Aku berharap semuanya baik-baik saja.

Aku letih sekali. Aku hanya tertuju pada lotion bersiap-siap ketika kulitku terasa sangat kering saat udara tengah malam yang dingin ini masuk lewat ventilasi kamar. Ventilasi ini banyak sekali!

Aku sangat lelah. Aku tidur dengan pikiran yang berkelebat. Buku berserakan di mana-mana, kertas-kertas. Kamar ini seperti kapal pecah!

Aku sangat lelah... Aku sangat lelah.. :’(... Aku terus terbangun, memikirkan apa yang belum aku kerjakan. Tapi aku tak ingin bergerak sedikitpun. Aku hanya tertuju pada ujung-ujung jariku yang merah jambu. Aku membayangkan esok seperti apa. Aku belum menyicil tugas Amigas yang banyak itu. Tenang, masih banyak waktu untuk mengejarnya. Aku hanya butuh mood baik saja.

Aku sangat lelah. Tidur yang buruk. Aku bangun pagi itu karena Ayah menelepon.

“Gimana? Sehat?”

“Heemmm..”

“Kuliahnya lancar?”

“Ya.”

“Dede, ada paket di Palembang tolong diambil ya, Nak. Kemarin Ayah kirim. Sebelah Gramed Atmo!”

“Hemm..”

Aku hanya diam, ya atau hemm, aku tak ingin ayah mendengar suaraku. Aku terus diam sampai Ayah menutup teleponnya.

Aku bangkit dan berharap hari ini jadi lebih baik. Haahh..., aku sangat lelah.

Aku mengabaikan pesan-pesan yang masuk tanpa membalasnya bahkan membacanya pun tidak. Aku mandi dengan segar. Aku sangat lelah! Aku ingin datang ke kampus dengan sangat pagi, duduk di barisan depan. Tapi , aku sangat lelah. Aku diam sejenak, berbaring di tmpat tidurku dengan tangan terlentang, menghadap langit-langit. Tidak tahu kenapa aku sangat lelah. Jika saja Shakespeare masih hidup, aku akan bertanya apakah racun mati suri 24 jam yang diminum oleh Juliette itu benar-benar ada? Jika ada, aku ingin meminumnya. 24 jam saja!

Aku tak sadarkan diri. Aku terasa beku. Aku sangat lelah. Tulang tenggorokan ini sakit sekali, apalagi ketika terisak. Aku mengangkat beberapa telepon yang masuk dengan secara spontan menjawab tanpa ku tahu apa pembicaraan itu. Terus saja aku mengabaikan pesan-pesan yang menunggu balasan. Aku enggan membacanya.

Aku lelah sekali, Tuhan. Aku seperti tidak pernah menyicip apa itu namanya tidur. Aku tidur dengan pulas. Aku menghabiskan waktu berjam-jam tertidur dengan jendela dan tirai yang terututup, tanpa lampu. Hanya seberkas cahaya yang menembus lubang-lubang ventilasi. Aku menghabiskan seharian ini dengan tidur.

Aku terbangun. Hari sudah sore. Aku membaca satu persatu pesan di ponselku. “AMIGAS HARI INI TIDAK KULIAH. IBU SAKIT.”

Haahh....., keadaan sangat berpihak padaku. Aku kira aku sudah kehilangan kuliah untuk hari ini. Aku mengecup layar ponselku. :’)

Lagi-lagi keadaan sangat berpihak padaku...

TRIBUTE TO BENCOOLEN

Bengkulu itu...., biji duren bisa jadi keripik...

Bengkulu itu...., kulit duren aja bisa jadi makanan! Dodol atau selai roti!

Bengkulu itu...., hhmmmm, kami punya kurma boong-boongan lho alias manisan terong yg persis ky kurma.. :p

Bengkulu itu...., orangnya kocak2 dan rame! =D



hahaa...., yg pasti yg paling bangga sama pelajarnya..., pada jago debat semua!!! d^^b !!! Dari SMP ampe SMA semuanya antusias dalam menulis dan debat.. Jadi ekskul yg paling bergengsi selama sekolah.



Aku merasakan hawa yang berbeda ketika berada di Bengkulu. Aku merasakan kedamaian, kehangatan, keramah-tamahan, keakraban, bahkan kekocakan orang-orangnya.

Meskipun ayahku orang Medan, bahkan kedua orang tuaku tidak pernah menyicip bangku pendidikan di Kota Bengkulu, tapi aku dengan bangga menyebut diriku orang Bengkulu. Aku lahir di Bengkulu, tinggal di Bengkulu, bersekolah di Bengkulu, dan dengan bangganya membawa nama Bengkulu ke luar.

Bengkulu menurutku adalah kota yang penuh inspirasi. Di mana aku merasakan hawa klasik melewati jalan pusat oleh-oleh yang kental dengan tradisionalnya, jalan yang sesekali sepi itu, dan aku sesekali memutar langkahku di trotoar, memasuki koridor jalan satu jalur yang penuh akan pepohonan. Aku merasakan kedamaian di sana. Aku bisa bebas bertelpon ria di jalanan, mengayun-ayunkan tasku (aman, ga ada pencopet! :p), duduk di pinggir-pinggir memperhatikan orang yang berlalu-lalang.

Orang-orang asli Bengkulu dengan logat khasnya, pemukimannya yang terdahulu, budaya dan adat yang kental, masih bisa ku rasakan. Aku melewati daerah itu yang penuh dengan rumah panggung berderet. Di sini ku ingat beberapa tahun lalu aku yang bertelanjang kaki di atas tanah, belajar tarian-tarian tradisonal. Kadang tanah yang becek tak kami hiraukan menyelip di sela-sela jari kaki kami. Pemilik sanggar dengan semangatnya mengajari kami untuk tampil di pagelaran. Sesekali kami terhibur dengan segerombolan anak-anak yang berlatih menabuh dol dengan penuh semangat di bawah pohon seris. Aku merasakan budaya yang sangat kental di sini, masih asli dan belum terjamah, memang sepertinya di daerah tempat sanggar ini belum ada perkawinan campuran, masih betul-betul penduduk asli.

Penduduk asli yang penuh keramah-tamahan dan keunikan, ada pula penduduk pendatang yang tersebar dengan membuka usaha kulinernya. Aku benar-benar merasakan kuliner terenak yang pernah ada. Semua makanan enak ada di sini. Semuanya enak. Di sini komplit.

Aku duduk di atas makam dengan santai. Aku merebahkan diri di makam itu sambil sedikit tertawa. Seorang bapak-bapak yang dengan sibuk dengan kameranya dari tadi pun tertawa dan berkata padaku, “Oi Dek, tau dak makam itu tu?” Langsung ku jawab, “Tau lah, Om. Hahahaa... Makam datuk Poyang ko. Maso dak buli rebahan di makam datuk dewek. Hahaha,” candaku. Itu adalah makam Inggris di Fort Marlborough. Sama sekali tidak terasa horror. Namanya juga makam Inggris, jadi disemen semua. Bisa duduk-duduk di sana, foto narsis-narsisan, bahkan aku pernah rebahan di sana. Untung ga dimarahi bapak penjaga! Hehehe... Oh ya, padahal aku udah 18 tahun di Bengkulu, tapi aku belum pernah masuk ke ruang pejabat Inggris. Sewaktu aku masuk, aku kaget dan tertuju pada sebuah denah atau konsep Benteng yang ditulis di atas kertas zaman dulu dan sudah di-laminating. Tapi keasliannya masih terasa, di tahun 1700-an. Tulisannya antik sekali. Aku sempat kagum dengan gaya tulisannya. Aku melihat foto-foto benteng itu dari tahun ke tahun beserta perkembangannya. Sudah 4 kali jatuh berpindah tangan, dari Belanda ke Inggris, dari Inggris ke Jepang, dari Jepang ke Indonesia. Tapi Inggris lah yang paling berpern 80 persen dalam pembangunan benteng ini. Bahasa dominanya aja bahasa Inggris.

Alunan Moonlight Sonata-Beethoven mengalun lembut di telingaku, di bawah pohon-pohon dan meriam yang bertebaran, langit yang agak memerah di sore hari ketika ku menengadahkan kepala ke atas,sore hari benar-benar indah. Dari atas aku bisa melihat pantai yang biru lautnya....., indah sekali... dan di sebelah samping adalah kampung Cina alias pemukiman Chinnese, penuh dengan lampion-lampion merah dan gapura naga. Aku melewatinya santai, bau asap dupa terasa sekali di hidungku. Ternyata aku hampir sampai di wihara, aku kaget melihat patung Buddha! Besar sekali, kebetulan pintunya tidak ditutup. Lalu aku meneruskan jalanku..., rumahnya masih sederhana, tersusun berderet-deret seperti rumah-rumah berbaris di Italia, atpi coraknya corak timur, dan hanya ada warna putih dan abu-abu yang digunakan. Seperti rumah di film-film vampire!! Wweeewwwwww....., aku jadi ngeri. Anak-anak putih sipit bermain kejar-kejaran di sekelilingku. Benar-benar kental suasana Tionghoanya. Di mana-mana ada pantai. Ya semuanya pantai, di mana-mana. Kuliner juga tidak ketinggalan. Di sana juga banyak sederetan kuliner. J

Pantai Panjang jadi kebanggaan, sepanjang 2 km mungkin ada, pohon-pohon cemara di pinggirnya, tidak seperti pantai kebanyakan yang dikelilingi pohon kelapa. Orang-orang biasa jogging di jogging track, atau bersepeda. Sewaktu pagi hari orang-orang bahkan senam jantung di pinggir pantai dengan dentuman ombak yang berdebur kencang dan tinggi itu. Tau kan gimana ombak kalo pagi-pagi tu ganas banget, lagi pasang! Lagi surut aja ganas apalagi pas lagi pasang.

Kota Bengkulu itu...., buat aku penuh inspirasi..... Semuanya penuh inspirasi.

Masjid Jamik yang didesain oleh Pak Sukarno..., hhhmmmm...., setiap sabtu sore aku menghabiskan ashar di sana, sepulang mengajar anak-anak Relief KIR SMPN 1. Karena sewaktu hendak pulang aku selalu melewatinya. Jadi aku kepalang tanggung mampir ke sana...

Ah, tidak ada habisnya jika bercerita. Semuanya penuh inspirasi dan unik. :D