Pages

Dynamic Blinkie Text Generator at TextSpace.net


Saturday, March 3, 2012

MENUJU INDONESIA YANG MELEK HUKUM??? (Surat untuk Alanda Kariza)

Saya terpaku membaca curahan hati seorang Alanda Kariza. Meskipun kita tidak saling kenal, saya harap Alanda membaca blog saya ini. Saya sangat sedih begitu tahu kalau kasus di persidangan bisa merusak segalanya, termasuk rutinitas sehari-hari dalam keluarga. Saya sangat mencintai Ibu saya, sama seperti Anda Alanda. Saya sangat mengerti perasaan Anda. Dan saya yakin barangkali perasaan sayang yang Anda punya melebihi perasaan yang saya punya.


Kita bicara mengenai kasus hukum. Saya memang bukan basic dari hukum. Saya sama seperti Anda yang begitu geregetannya melihat hukum di Indonesia. Cita-cita saya sewaktu sekolah adalah pengacara. Karena saya suka berdebat dan saya sering membuat orang-orang terdiam tanpa bisa melawan pembelaan dari saya setiap diskusi atau debat. Saya selalu memenangkan perdebatan meskipun saya salah. Hal itulah yang membuat saya, termasuk teman-teman mengatakan kalau saya berbakat menjadi pengacara.


Namun takdir berkata lain. Saya memang anak IPA. Namun, saya bercita-cita bekerja dalam bidang sosial, karena itulah passion saya dan saya yakin saya bisa berjaya di sana. Saya agak mencibir ketika teman-teman satu sekolahan saya mendapatkan undangan PPA ke UI untuk jurusan IPS. Karena saya merasa jauh lebih pintar dari mereka dan saya merasa lebih pantas dibandingkan mereka. Hanya saja saya seorang anak IPA. Saya yang waktu itu ingin mengambil jurusan Hukum, Sastra Indonesia, Komunikasi, atau Hubungan Internasional, semua itu hanya khayalan belaka karena peluang yang saya punya kecil, termasuk dukungan orang tua yang minim. Saya hanya akan dihormati jika saya adalah insinyur teknik atau bekerja di Bank yang memakai seragam necis, stylish, dan rapi. Padahal saya merasa semua akan berbeda jika saya ke UI, karena atmosfer yang berbeda dan cara didikan di sana yang betul-betul menggembleng mahasiswanya untuk duduk di kursi wakil rakyat, memperbaiki Indonesia yang semakin parah dan runyam ini.


Alanda, saya sering bermimpi mengibarkan sang saka saat saya sakit. Karena apa? Karena terbaring sakit tak berdaya selalu mengingatkan saya pada saat terhambat untuk mengikuti tes Purna Paskibraka Indonesia. Dan kamu tahu?? Saya sudah 3 tahun mempersiapkan diri untuk menjadi PPI dan selalu mendapatkan posisi terbaik saat bertugas. Tetapi semuanya menjadi sia-sia karena keadaan saya waktu itu yang menghancurkan cita-cita saya. Saya sering menangis jika melihat pengibaran bendera di televisi 17 Agustus. Saya tidak pernah ingin melewatkannya pagi dan sore.


Alanda, rasa nasionalisme saya sangat besar. Saya merasakan nasionalisme yang menggebu saat dididik di Paskibra. (Bahkan saya masih hapal dan cakap dalam peraturan baris-berbaris saat ini). Begitupun juga saat saya melanjutkan kuliah. Saya sangat ingin berkecimpung di dunia di mana saya bisa digembleng menjadi wakil rakyat tanpa melewatkan sedikitpun isu-isu Indonesia yang menjijikkan ini. Saya yakin UI-lah tempat di mana seharusnya saya berada, tapi tidak untuk teknik, Alanda. UI-lah atmosfer di mana saya bisa bertemu dengan teman-teman penulis muda yang pikirannya sama dengan saya. Hanya saja kami keluarga yang berbeda. Mereka diizinkan untuk memasuki bidang yang mereka sukai, tidak seperti saya.


Alanda, saya memang tidak mengerti hukum. Tapi, nenek yang mencuri 5 biji kakao dipenjara 5 tahun, buruh yang mengambil kapuk sisa 2 karung dipenjara, dan pencuri semangka kebun karena ingin melepaskan dahaga harus membayar semangka itu dengan dipenjara 3 tahun. Semuanya membuat saya aneh.


Alanda, sama seperti ibumu yang mungkin entah kenapa saya yakin tidak bersalah. Karena perasaan suci seorang anak tidak akan pernah salah, sebagaimana yang kamu jelaskan di tulisanmu mengenai kasusnya. Apa hanya kita yang tidak mampu membayar pengacara yang mahal??????????? Iya kah?????????? Kalo memang benar iya, alangkah lucunya negeri ini, Alanda. Apakah kita harus membayar pengacara yang mahal dulu agar hukuman kita ringan????
Kalo memang iya, tentu saya akan menjadi pengacara sukarela untuk kasus-kasus yang memprihatinkan, jika saya pengacara kondang seperti Bapak Hotman Paris Hutapea, O.C. Kaligis, atau Ruhut Sitompul, tanpa meminta bayaran. Karena pengacara sejati adalah pengacara yang bermain dengan hati nuraninya, bukan bermain-main dengan hati nuraninya. Yang membela kebenaran dan keadilan.


Dan tunggu! Saya juga ingin bertanya, kenapa jaksa memberikan tuntutan yang tidak masuk akal?? Bahkan tidak mempertimbangkan hasil akhir yang tanpa dibarengi dengan prediksi berapa tahun hukuman yang jatuh pada akhirnya? Ini membuat saya lebih aneh lagi.


Alanda, saya ingin bercerita. Di tempat kelahiran saya, gubernurnya korupsi Rp20,6 M dan terbukti membuat rekening baru atas pajak Dispenda. Tetapi hanya hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta. Jika ada remisi 17 Agustus, hari raya, dll, tentu hukumannya bertambah ringan. Sungguh tidak adil. Saya juga mau seperti itu jika saya merampok uang negara. Saya akan memberikannya kepada orang-orang susah. Dan sebagiannya lagi akan saya simpan dalam bentuk aset, restoran mewah, beberapa hektar kebun sawit, karet, dan kopi, beserta sapi-sapi perah yang gemuk. Setelah saya bebas dari kurungan, sapi-sapi saya sudah beranak pinak, restoran saya sudah membuka franchise di mana-mana, kebun saya menghasilkan, dan tentunya rekening saya menggembung tiada tara selagi saya makan tidur gratis di penjara yang bisa saja saya fasilitasi sendiri semau saya dengan uang yang saya punya, menyewa satu ajudan, satu sopir, satu bodyguard, dan satu pembantu. Saya lebih baik seperti itu, tidak apa-apa di penjara jika hukumannya cuma sekedar abal-abal seperti itu.


Sama seperti tidak adilnya Ibumu yang 10 tahun Rp10 M itu, sungguh tidak adil jika Robert Tantular mendapatkan hukuman yang lebih ringan.


Saya kecewa. Saya benar-benar kecewa dengan negara kita, Alanda. Indonesia yang selama ini saya puja, saya cintai, saya elu-elukan, bahkan saya bela dari tetangga sebelah karena mereka meng-klaim Bunga Rafflesia Arnoldii. Saya sangat sedih melihat Indonesia seperti ini.


Penegak hukum memang tidak punya hati nurani. Orang salah dibela asal bisa bayar mahal. Orang jujur idealis jadi korban. Semoga mereka diberi kesadaran dan dimudahkan lapang kuburnya, aamiiiiiiinn. Karena dosa mereka teramat besar dan menjijikkan....

No comments:

Post a Comment